Sabtu, 15 Agustus 2009

bokap dangdut dan roma irama

bokap gua sangat tergila-gila sama musik dangdut. Jika terdengar alunan orkes dorong yang lagi ngebawain lagu dangdut dengan variasi mulai dari genre koplo, chadut, slowdut, rockdut ato yang lagi ngetrend saat ini, dancedut, maka bisa dipastikan bokap langsung joget-joget. Jogetnya sendiri nggak kayak orang pada umumnya. Bokap selalu jaim buat melakukan itu terutama jika dilihat oleh anak-anaknya. Paling yang bokap lakuin ketika menikmati alunan musik yang katanya berasal dari India itu hanya manggut-manggut konstan dan mengacungkan kedua jempolnya ke atas. Mirip gerakan penguin selesai berhubungan seksual.

Sabtu malam itu bokap duduk manis di depan tipi. Layar berukuran 17 inchi di depannya menayangkan acara musik dangdut yang disiarkan langsung dari pantai karnaval Ancol. Nggak tanggung-tanggung, acara musik yang diprakasai oleh TPI itu menampilkan artis dangdut dari 3 generasi yang berbeda. Generasi pertama tentu saja diwakili oleh sang raja dan ratu dangdut. Yep di barisan depan Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih sudah siap menggoyang lautan massa yang dari tadi berteriak-teriak nggak jelas kek orang lagi kesetanan. Selain dua orang itu, di generasi pertama juga ada Rita Sugiarto, penyanyi dangdut wanita pujaan bokap gua. Di generasi kedua ada Ike Nurjanah dan Cici Paramida dan digenerasi paling bontot alias generasi ketiga Siti dan para artis jebolan KDI lainnya sudah stand by menggoyang para pecinta dangdut di tanah air.

“Kris.” Bokap manggil gua yang lagi duduk nyantai sambil mencetin jerawat di teras depan.

Gua nggak jawab. Masih khusyuk megang-megang jerawat yang entah dari kapan berani-beraninya nangkring di daerah sekitar dagu. Warnanya merah. Ukuranya lumayan gede. Kalo ditusuk pake piso rasanya perih banget.

“KRIS!!!” Bokap memanggil gua untuk yang kedua kalinya. Sambil jerit.

“Apaan sih Pak?”

“Sini masuk, kita nonton tipi.”

“Acaranya bagus ya? Pilem China ato pilem barat? Oh, pasti pilem Jet Li ya?” Gua berasumsi.

Ekspetasi gua yang terlampau tinggi itu lalu dengan sangat mudahnya dihancurkan oleh bokap menjadi puing-puing yang nggak beraturan. Bokap bilang, “Ayo kita nonton dangdutan bareng.”

Berhubung gua nggak mau dikutuk jadi Ikan Pari. Gua segera menuruti ajakan itu. Gua dan bokap duduk di sofa ruang tamu yang terbuat dari bahan beludru. Warnanya abu-abu dan kini sudah tampak kusam karena telah lapuk di makan usia. Di sana kami menyaksikan Rhoma Irama dan grup Sonetanya nyanyi-nyanyi di atas panggung.

“Gimana? masih semangat?” tanya Bang Rhoma dengan gayanya yang sangat khas. Para penonton yang tampaknya udah nggak tahan buat berdendang secara massal langsung tereak. Nggak tau meneriakan apa, yang pasti dari teriakan itu membuktikan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang butuh hiburan semacam ini untuk sedikit mengurangi beban hidup mereka yang dari hari ke harinya semakin mencekik leher.

Di sisi lain Bokap mencoba membuat dialog dengan gua.

“Kamu suka dangdut Kris?”

Lagi-lagi dengan pertimbangan nggak mau kualat terus dikutuk jadi Ikan Pari gua jawab, “Suka.”

“Bagus. Jarang-jarang loh ada anak muda kayak kamu yang suka sama dangdut. Kebanyakan dari mereka menganggap musik dangdut itu kampungan. Padahal siapa bilang? Musik dangdut itu musik yang eksentrik. Nggak peduli liriknya lagi seneng, sedih, bahagia, abis diputusin pacar, abis dapet hadiah, abis dapet musibah. Bawaannya ngajakin joget aja.”

Gua diem.

“Kamu suka Rhoma Irama?”

“Su…ka.”

“Rhoma Irama orang hebat loh Kris. Nggak salah deh kalo banyak orang yang bilang kalo dia itu raja dangdut. Hampir semua lagu dangdut diciptain sama dia. Gitarnya aja harganya 300 juta.” Bokap berbicara tanpa dasar teori yang cukup kuat.

“Hah? 300 juta?” Gua kaget.

“300 juta.” Bokap sok tau.

1 komentar:

  1. Bukan 300 juta,tapi cuma 200,kalau di jaman sekarang kira kira kali berapa ya..?? Kita ambil gampangnya saja dikalikan 10, jadi 200x10 sama dengan sekitar 2m.

    BalasHapus