Sabtu, 15 Agustus 2009

penghianatan pertama terhadap piagam jakarta

Kapankah Piagam Jakarta pertama kali dianulir? Hampir setiap orang, bahkan para pakar sejarah, menunjuk tanggal 18 Agustus 1945. Yakni saat Bung Hatta di pagi hari menjelang dibukanya rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), melobi Ki Bagus Hadikusumo, A Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan untuk bersedia mengganti kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam rancangan UUD dengan kalimat ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’.

Alasannya, demi persatuan bangsa. Karena menurut pengakuan Hatta, sore hari sebelumnya ia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut (AL) Jepang yang memberitahukan, wakil-wakil Kristen di daerah yang dikuasainya sangat keberatan dengan kalimat tersebut. Jika kalimat itu tetap dimasukkan, katanya, mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia. Atas desakan demikian, dengan sangat berat hati para tokoh Islam membolehkan penggantian itu.

Peristiwa ini menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam di kalangan umat Islam, karena upaya kompromi yang dicapai dengan susah payah itu dipotong oleh kalangan nasionalis sekuler persis di `tikungan terakhir’ menjelang pengesahan UUD.

Terlebih lagi prolognya masih menyimpan misteri besar. Yakni tentang kebenaran info dari perwira AL Jepang itu. Apakah benar ada keberatan itu, apakah itu bukan sekadar berita bohong yang disampaikan perwira tersebut?

Kalau benar ada, siapa saja tokoh Protestan dan Katolik yang menyampaikan resolusi itu? Sewajarnya Hatta diberitahu tentang identitas tokoh-tokoh itu, sehingga Hatta bisa melakukan tabayun (check and recheck) kepada tokoh-tokoh Kristen itu dan bisa mempertimbangkan representativitas mereka.

Tetapi itu tidak dilakukan. Sesuatu yang sangat aneh itu bisa terjadi pada Bung Hatta untuk suatu peristiwa yang sangat penting. Padahal tokoh nasional ini dikenal sangat teliti dan hati-hati.

Sayangnya lagi, kelima tokoh Islam itu, nampaknya juga lupa untuk melakukan tabayun terhadap info yang mereka terima dari Hatta. Padahal upaya itu bisa mereka lakukan, meski belakangan Hatta mengaku lupa nama perwira AL itu. Yakni dengan menelusuri proses bertemunya Hatta dengan perwira AL itu.

Seperti ditulis Hatta sendiri dalam otobiografinya Memoir Mohammad Hatta (terbitan Tintamas, Jakarta, 1979), sebelum menerima perwira AL itu, Hatta menerima telepon dari seorang asisten Laksamana Maeda, bernama Nishijama. Ia menanyakan kesediaan Hatta menerima seorang perwira AL.

Setelah Hatta mempersilakan, perwira AL itu datang ditemani Nishijama yang menjadi penerjemah mereka berdua. Artinya, lewat Nishijama ini sebenarnya bisa ditelusuri kebenaran informasi itu sehingga tidak perlu terjadi langkah tergesa-gesa itu.

Pengkhianatan Pertama

Yang menarik, ternyata peristiwa 18 Agustus itu bukan saat pertama sabotase terhadap Piagam Jakarta (PJ). Di balik peristiwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 pun tersimpan indikasi serupa, yang jarang disadari oleh banyak sejarawan. Sejauh penelusuran Sahid, di antara pengamat sejarah politik Islam Indonesia baru hanya Abdul Qadir Djaelani yang menyinggung indikasi ini dalam bukunya Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia (1996).

Seperti diketahui, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat yang terkenal itu. Padahal, seperti diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah PJ. Tetapi pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksama Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik membuat aksi dadakan, membuat teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya. Apa alasan pembuatan naskah ringkas itu?

Sederhana sekali dan terasa naif. Dalam memoir Hatta (halaman 454) tertulis, “Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut PJ.”

Masih menurut Hatta, pada malam itu seluruh anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In sudah hadir di rumah Maeda. “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.”

Demikian banyak tokoh yang hadir untuk menanti proses proklamasi, dan para anggota PPKI tahu mereka diundang ke rumah Maeda untuk mempersiapkan tahap akhir persiapan kemerdekaan. Maka masuk akalkah tidak seorang pun di antara mereka yang membawa naskah PJ?

Atau andaikan benar begitu, bukankah proklamasi baru dilaksanakan esok harinya, 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di rumah Soekarno di Jl Pegangsaan Timur 56. Berarti tinggal membaca naskah PJ yang ada di rumah Soekarno dan para anggota PPKI lainnya punya kesempatan membawa naskah PJ yang dimiliki masing-masing, andaikan di rumah Soekarno tak tersedia.

Dan andaikan proklamasi harus dilakukan pada malam itu juga di rumah Maeda, Hatta tinggal pulang sebentar ke rumahnya di Jl Syowa Dori (kini Jalan Diponegoro) untuk mengambil naskah PJ. Jarak antara rumah Maeda dengan rumah Hatta hanya sekitar 1 km. Dengan bermobil di malam hari hanya butuh waktu sekitar 10 menit. Kalau mereka beriktikad baik untuk taat asas pada PJ, kenapa hal itu tidak dilakukan? Tentu ada sesuatu yang tak beres.

Menurut AQ Djaelani, dalam peristiwa tersebut PJ sengaja disingkirkan oleh kalangan nasionalis sekuler agar tidak jadi dibacakan sebagai naskah proklamasi kemerdekaan. “Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta,” tulis anggota DPR dari F-PBB ini.

Jadi, dalam tempo 24 jam saja, telah terjadi dua kali pengkhianatan terhadap PJ. Ironisnya, itu dilakukan oleh para bapak dan guru bangsa. Padahal kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. (shw, amz)

Sumber Suarah Hidayatullah September 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar